Progresif.id - Meningkatnya trend sosial media dan smartphone menimbulkan sebuah tren baru dalam masyarakat, yaitu trend homeless media atau yang lebih akrab disebut sebagai citizen journalism atau jurnalisme warga.
Homeless media merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada konten, ide, atau media yang tidak memiliki tempat permanen atau format tetap dalam sistem distribusi tradisional seperti konten digital tanpa platform tetap, media alternatif atau media yang tidak memiliki tempat di media arus utama, seperti zine, seni jalanan, atau karya seni digital yang tidak terikat pada galeri tertentu.
Homeless media hadir dengan memiliki tujuan sebagai wadah bagi masyarakat untuk memberikan informasi atau peristiwa yang baru saja terjadi disekitar masyarakat secara cepat dan terkini, tidak melihat dari latar belakang sebagai pelajar, pekerja kantoran, bahkan ibu rumah tangga sekalipun bisa menjadi homeless media.
Kecepatan isu homeless media berbanding cukup jauh dengan jurnalisme konvensional, maka tidak jarang masyarakat mengetahui suatu berita dari format homeless media lebih dulu dibandingkan dari jurnalisme konvensional.
Keringkasan publikasi homeless media menjadi salah satu faktor utama berita diterima lebih dulu oleh masyarakat dibanding berita lainnya, kemunculan new media seperti homeless media memiliki potensi besar yang menghadang.
Akurasi data yang lemah dan tidak adanya cover bothside memungkinkan jurnalisme model ini berbahaya dan rawan menghasilkan berita hoaks.
Homeless media juga memiliki hubungan yang kompleks dengan hoaks karena sifatnya yang tidak terikat pada platform atau institusi besar.
Hal ini membuka peluang sekaligus tantangan dalam mengelola informasi, terutama yang berkaitan dengan keakuratan dan kredibilitas.
Beberapa kelemahan homeless media dalam hal ini dikarenakan minimnya kontrol terhadap editorial, karena tidak adanya mekanisme pengawasan editorial yang kuat, sehingga rentan menjadi saluran penyebaran hoaks, adanya anonimitas kreator yang teridentifikasi secara jelas, termasuk informasi palsu.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Medialink mengadakan workshop dan pelatihan untuk homeless nedia se-Jawa Barat yang diadakan di Bandung, Kamis (21/11/2024), dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya verifikasi informasi sebelum menyebarkannya di media sosial.
Direktur Eksekutif Medialink Ahmad Faisol dalam sambutannya mengatakan, dalam konteks Indonesia, jurnalisme homeless media atau yang lebih dikenal dengan istilah jurnalisme warga telah menjadi bagian integral dari ekosistem media.
“Posisinya sekarang sudah menjadi bagian dari ekosistem media, maka homeless media ini juga harus mematuhi aturan dan memastikan bahwa informasi yang disampaikan adalah akurat dan dapat dipercaya, bukan menjadi pencipta dan penyebar hoaks” jelasnya dalam sambutan.
Menurut Manajer Program Medialink, Leli Qomarulaeli hoaks seringkali terdistribusikan dalam format homeless media karena adanya distribusi informasi yang sulit dilacak dan berpindah-pindah.
“Hoaks sering kali sengaja dibuat dalam format yang cocok untuk homeless media, seperti video pendek, meme, atau artikel anonim, sehingga sulit dilacak asal-usulnya dan tanpa meninggalkan jejak permanen, seperti melalui aplikasi pesan instan atau forum independen,” ujarnya.
Lebih lanjut, Leli Qomarulaeli juga melihat, banyaknya hoaks yang disebar melalui format homeless media sering dirancang dengan cara memanfaatkan emosi audiens, seperti kemarahan atau ketakutan, yang tingkat penyebarannya lebih cepat dibandingkan fakta.
Fakta itu juga diperkuat oleh hasil riset Reuters Institute for the Study of Journalism yang menemukan banyak kesalahan dalam jurnalisme model ini di antaranya kurangnya pengeditan dan verifikasi yang ketat pada konten media sosial yang dapat menyebabkan penyebaran informasi yang tidak akurat atau menyesatkan.
Bila dikelola secara baik, ternyata homeless media juga memiliki sisi positif untuk menangkal persebaran hoaks di masyarakat.
Potensi tersebut misalnya dengan menggunakan homeless media untuk mempublikasikan fakta yang terpinggirkan oleh media arus utama karena sifat media ini sebagai media alternatif dan homeless media juga memiliki komunitas yang dapat melakukan fact-checking secara kolektif.
Kedua sisi positif homeless media ini dapat terwujud bila adanya pengelolaan homeless media di masyarakat melalui program peningkatan literasi digital, pengenalan teknologi pelacak jejak digital dengan cara memanfaatkan teknologi seperti blockchain untuk menciptakan rekam jejak konten yang lebih transparan, dan tentu saja dengan melakukan kolaborasi dengan fact-checkers yang dimiliki beberapa organsiasi seperti Mafindo, AMSi atau pun AJI.
Untuk itu Medialink berharap, pelatihan-pelatihan untuk homeless media ini harus diperbanyak di masyarakat dan pegiat media model ini juga harus diperluas untuk mencipatakan komunitas media yang sehat dan bukannya model media yang hanya mengejar clickbait dan sensasional untuk menarik pembaca, atau penyajian data-data yang berpotensi hoaks agar dihindari.
“Pelatihan-pelatihan praktis untuk pegiat jurnalisme model ini terkait bagaimana menyajikan data akurat secara cepat dengan memphatikan validitas merupakan langkah positif untuk menciptakan komunitas media yang sehat,” kata Ahmad Faisol.